Thursday, August 25, 2005

Tujuhbelasan Setahun Sekali

Hari ini sahabat saya, Indonesia, berulang tahun. Dan kita semua diundang dalam perayaannya. Tiada kesan tanpa kehadiranmu. Begitu katanya.

Kue ulang tahun itu begitu kecil. Tak cukup besar untuk lilin sejumlah 60 buah. Apa boleh buat, mereka pun menggantinya dengan lilin merah berwujud angka enam dan nol.

Wah 60 tahun, usia yang sudah tidak bisa dibilang muda. Seharusnya telah mencapai tingkat kematangan yang sempurna pada usia itu.

Indonesia, sejauh saya mengenalnya sosok itu begitu rumit. Terlahir diantara cengkraman arogansi penjajah. Betul, kelahirannya bukan hadiah. Namun perjuangan. Dalam kemiskinan, Ibu pertiwi meronta bersimbah darah dan bercucuran air mata.

17 Agustus 1945. Indonesia pun lahir. Bayi sehat dengan label merdeka di pijakan kakinya. Tapi Ia tahu tak mungkin berhenti sampai disitu. Ia harus merangkak, belajar jalan lalu melangkah. Tak akan ada yang mengajarinya. Ia sekarang merdeka. Ia harus berdiri di atas kaki sendiri. Ia harus hidup. Dan menghidupi.

Sudah ah, saya harus bersiap-siap. Ini hari besar sahabat saya, Indonesia. Saya akan segera larut dalam kegembiraan ulang tahunnya. Saya pun tak sabar. Di tangan, sebuah kado mungil tergenggam erat. Kotak kecil berwarna putih tak lupa pita merah melingkarinya.

Kata orang, tak sopan pergi ke ulang tahun sahabat dengan tangan hampa. Oleh karena itu kado kecil itu ada di tanganku. Lagipula ini kan hari ulang tahun sahabatku. Setahun sekali ini.

Saya pun memandangi kado kecil itu. Tak tahu harus berbangga dengan kado kecil nan indah itu, atau merasa bersalah karena hanya setahun sekali saya dapat berbuat itu.

Dari 365 hari dalam setahun tanpa kita sadari mungkin hanya sehari kita benar-benar menjadi orang Indonesia. Mengibarkan bendera merah putih di rumah kita, menghias sepeda anak-anak kita dengan kertas merah dan putih untuk pergi berpawai, melakonkan aksi-aksi para pejuang yang gagah berani di panggung-panggung tujuh belasan.

Setelah hari itu berakhir. Semuanya pun hilang. Bendera kembali terlipat, ditumpuk paling bawah laci untuk seterusnya diselimuti debu sampai tahun depan. Jiwa pejuang yang kita mainkan kemarin telah berganti kembali tanpa meninggalkan kesan apa-apa. Sekarang semuanya kembali hanya suatu bentuk kehidupan di negara tak bernama.

Sesekali kita bertemu Indonesia di form-form yang harus kita isi, di sebelah kolom “nationality” atau “kewarganegaraan” Kita pun menuliskannya disitu tanpa kesan apa-apa.

Sudah ah, menuliskan hal ini pun saya jadi malu sendiri. Saya sadar kalau saya pun sedang melakukan hal itu. Jadi mendingan saya sudahi saja sampai disini.

Selamat ulang tahun sahabatku, Dirgahayu Indonesia. Kami akan mencoba berbuat lebih banyak untukmu.

Tanah yang memberi kami tempat berpijak dan belajar jalan untuk menemukan hidup.

Di atasmu kami akan selalu berdiri. Dan berarti.

3 comments:

AMRIL TAUFIQ GOBEL said...

Merdeka Renton! Saya juri lomba entry 17-an blogfam. Semoga menang ya ?

Umi Hanik said...

SUKSES LOMBANYA & MET WIKEN YAH

Sksetsahati said...

:)

makasih udah ikutan lomba 17-an blogfam ya.