Monday, August 29, 2005

Shall We Dance: Bahagia Itu Kebutuhan



Setiap orang pasti mencari kebahagiaan. Memang apa sih sebenernya bahagia itu? Kondisi ideal dimana seseorang telah menemukan segalanya atau malah lebih dari itu?

Gue kemarin baru nonton Shall We Dance. Ceritanya tentang John Clarks (Richard Gere), seseorang yang dianugerahi karir yang bagus serta keluarga yang hebat. Boleh dibilang Ia telah mencapai kondisi dimana seseorang dapat dikatakan bahagia.

Well you know what ternyata bahagia itu membosankan. Ia merasa bosan dengan kebahagiaan itu. Aneh yah?

7 hari dalam seminggu. Dan Ia pun menjalaninya dengan sama setiap harinya. Pergi ke kantor, melakukan rutinitas kerjanya, pulang ke kantor lalu bercengkrama dengan keluarganya. Begitu terus. Ia bukannya tidak bahagia dengan semua itu. Hanya saja Ia sadar ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Dalam hidupnya yang terasa komplit tiba-tiba Ia merasa bagai puzzle yang hilang salah satu bagiannya. Dan suatu hari sepulang dari kantor Ia menemukan bagian itu.

Sepotong puzzle kecil itu bagi John adalah sebuah kelas Dansa. Tanpa sepengetahuan Istri dan anaknya Ia pun rutin menjalani rutinitas barunya. Sang istri yang penasaran dengan gelagat aneh sang suami pun menyewa detektif swasta guna membuntuti suaminya.

Di bagian akhir cerita yang gue ingat banget adalah kutipan John saat ditanya istrinya kenapa Ia mengikuti kelas dansa tersebut. Jawabnya singkat

"I Wanna Be Happier"

Well, menurut gue ternyata kebahagiaan itu bukan semata kondisi ideal dimana kita telah mendapatkan segalanya. Bahagia itu ternyata kebutuhan yang akan terus kita penuhi selama hidup. Saat kita merasa telah bahagia, tak ada salahnya mencari sesuatu yang membuat kita lebih bahagia

Btw, abis nonton film itu jadi kepengen dansa. Know that i never do that my entire life. I mean really really dance kayak di film-film. Floating the air and groove into the music. Belom pernah ada partner yang berani gue ajak, lebih tepatnya. Dulu sih ada, not very long time a go. Tapi dia keburu pergi sebelum gue sempet nanya "Shall We Dance?"

Thursday, August 25, 2005

Tujuhbelasan Setahun Sekali

Hari ini sahabat saya, Indonesia, berulang tahun. Dan kita semua diundang dalam perayaannya. Tiada kesan tanpa kehadiranmu. Begitu katanya.

Kue ulang tahun itu begitu kecil. Tak cukup besar untuk lilin sejumlah 60 buah. Apa boleh buat, mereka pun menggantinya dengan lilin merah berwujud angka enam dan nol.

Wah 60 tahun, usia yang sudah tidak bisa dibilang muda. Seharusnya telah mencapai tingkat kematangan yang sempurna pada usia itu.

Indonesia, sejauh saya mengenalnya sosok itu begitu rumit. Terlahir diantara cengkraman arogansi penjajah. Betul, kelahirannya bukan hadiah. Namun perjuangan. Dalam kemiskinan, Ibu pertiwi meronta bersimbah darah dan bercucuran air mata.

17 Agustus 1945. Indonesia pun lahir. Bayi sehat dengan label merdeka di pijakan kakinya. Tapi Ia tahu tak mungkin berhenti sampai disitu. Ia harus merangkak, belajar jalan lalu melangkah. Tak akan ada yang mengajarinya. Ia sekarang merdeka. Ia harus berdiri di atas kaki sendiri. Ia harus hidup. Dan menghidupi.

Sudah ah, saya harus bersiap-siap. Ini hari besar sahabat saya, Indonesia. Saya akan segera larut dalam kegembiraan ulang tahunnya. Saya pun tak sabar. Di tangan, sebuah kado mungil tergenggam erat. Kotak kecil berwarna putih tak lupa pita merah melingkarinya.

Kata orang, tak sopan pergi ke ulang tahun sahabat dengan tangan hampa. Oleh karena itu kado kecil itu ada di tanganku. Lagipula ini kan hari ulang tahun sahabatku. Setahun sekali ini.

Saya pun memandangi kado kecil itu. Tak tahu harus berbangga dengan kado kecil nan indah itu, atau merasa bersalah karena hanya setahun sekali saya dapat berbuat itu.

Dari 365 hari dalam setahun tanpa kita sadari mungkin hanya sehari kita benar-benar menjadi orang Indonesia. Mengibarkan bendera merah putih di rumah kita, menghias sepeda anak-anak kita dengan kertas merah dan putih untuk pergi berpawai, melakonkan aksi-aksi para pejuang yang gagah berani di panggung-panggung tujuh belasan.

Setelah hari itu berakhir. Semuanya pun hilang. Bendera kembali terlipat, ditumpuk paling bawah laci untuk seterusnya diselimuti debu sampai tahun depan. Jiwa pejuang yang kita mainkan kemarin telah berganti kembali tanpa meninggalkan kesan apa-apa. Sekarang semuanya kembali hanya suatu bentuk kehidupan di negara tak bernama.

Sesekali kita bertemu Indonesia di form-form yang harus kita isi, di sebelah kolom “nationality” atau “kewarganegaraan” Kita pun menuliskannya disitu tanpa kesan apa-apa.

Sudah ah, menuliskan hal ini pun saya jadi malu sendiri. Saya sadar kalau saya pun sedang melakukan hal itu. Jadi mendingan saya sudahi saja sampai disini.

Selamat ulang tahun sahabatku, Dirgahayu Indonesia. Kami akan mencoba berbuat lebih banyak untukmu.

Tanah yang memberi kami tempat berpijak dan belajar jalan untuk menemukan hidup.

Di atasmu kami akan selalu berdiri. Dan berarti.

Flash Fiction: Setia

Malam itu langit diterangi neonnya yang paling benderang. Sepasang kekasih itu berbaring di hamparan rumput luas. Mereka begitu dekat hingga tak ada ruang buat setan jadi pihak ketiga. Diatas mereka, taman bintang sedang tampil dengan bunga-bunga terbaiknya.

"Mengapa bintang harus hadir sebegitu jauh?" kata si wanita
"Bukannya karena jauh, jadi kau bisa melihat keindahannya" sahut kekasihnya

Tiba-tiba wanita itu bangun, menatap pada kekasihnya.

"Aku mau satu!"
"Apa?"
"Untuk ditaruh di langit-langit kamarku. Ayolah, pergi ke atas sana dan ambilkan untukku satu"
"Hhhm... baiklah"
"Assiiiiiik"
"Jangan kemana-mana, aku segera kembali"

Pria itu pun bangun dari duduknya, ia memejamkan mata. Tiba-tiba sinar biru memancar keluar dari sekujur tubuhnya, berputar bagai tornado mengelilingi tubuhnya lalu menelannya bulat-bulat.

Kekasihnya kembali berbaring, wajahnya terlihat tak sabar menantikan mainan barunya. Ia melihat ke atas, menunggu kekasihnya.

Sekarang pria itu tengah mengendap-ngendap di langit malam. Tiba-tiba Ia pun bersembunyi di balik awan tebal, sinar bulan hampir saja memergokinya.

"Pencuri angkasa di malam begini terang bisa dihukum berat" pikirnya.

Ia pun selamat sampai di taman bintang. Masih dalam persembunyiannya, Ia melihat puteri bintang sedang melakukan tugas rutinnya. Berjalan keliling taman, menyalakan kembali kerlip bintang yang telah redup.

Beberapa saat kemudian.

"Pencuri bintang dapat dihukum mati!" kata puteri bintang

Di depannya, pria itu tertangkap basah dengan sebuah bintang di kantongnya.

"Aku bisa saja kabur puteri. Tapi... Aku telah jatuh cinta padamu" Sahut pria itu.

Sementara, jauh di bawah sana kekasihnya masih berbaring, jantungnya berdegup makin kencang. Sebentar lagi kekasihnya akan pulang membawa bintang untuk dipajang di langit kamarnya.

Monday, August 22, 2005

Jobless

Berapa orang di dunia ini yang lebih memilih jadi burung ketimbang jadi manusia? Jelas saja, burung tak perlu mencuci ban kotor setelah bepergian di hari hujan, tak perlu bayar hutang, tak perlu antri saat di ATM, tak perlu pusing mikirin tagihan.

Burung cuma perlu tempat berpijak sejenak, meluruskan kaki-kaki kecilnya lalu berterbangan lagi mengacak-ngacak angkasa.

Gayung pun bersambut. Hari ini “Asosiasi Burung Sejagat” buka lowongan. Mereka mencari tenaga-tenaga baru buat bermacam-macam posisi. Mengantarkan surat, jadi sasaran tembak pemburu, dan yang paling aku suka, bermain-main dengan orang-orangan sawah. Sungguh pekerjaan yang menyenangkan.

Wawancaranya walk-in interview, bawa CV lengkap dengan portfolionya. Di ruang tunggu hati jantung saya berdegup kencang sambil menerka-nerka pertanyaan apa yang akan diberikan. “Jangan lupa, tatap matanya dan pastikan jawaban yang keluar bernada positip” begitu saran seorang teman sebelum berangkat tadi.

Seseorang baru saja keluar dari ruangan interview, wajahnya berseri-seri. Itu berarti ancaman buat karir saya. Saya sangat menginginkan pekerjaan ini. Masih 3 orang lagi mengantri di depan saya, dan tak kan saya biarkan satupun keluar dari ruangan itu dengan wajah berseri-seri lagi.

”Mau cokelat, pak? Lumayan daripada iseng menunggu” saya menawari mereka dengan ramah.

”Wah, terima kasih” jawab mereka bertiga.

Saya pun menghitung detik di jam tangan saya. Tepat di detik ke 139, ketiganya kontan ngacir ke kamar mandi dengan terbirit-birit. Obat pencuci perut saya mulai bekerja. Saya pun tertawa lepas sendirian di ruang tunggu itu.

Sekarang saya sedang menatap tajam ke dalam matanya. Semua jawaban yang telah keluar bernada positip. “Saya berhasil” bergumam dalam hati.

Sampai pada pertanyaan terakhir.

“Bruuuk” tiba-tiba tubuh saya terlempar dari ruangan, terjatuh duduk. Saya mencoba bangun, membersihkan noda di kemeja saya. Masih terlihat nada kesal di mata pewawancara itu.

”Huuuuu, mau jadi burung kok takut terbang”
”DAMN, saya lupa”

Saya pun tertunduk lesu, berharap esok hari masih ada lowongan untuk jadi ikan atau kelelawar. Tapi saya sadar, saya tak bisa berenang dan takut gelap.

Tuesday, August 16, 2005

Carousel

Stand permainan, satu planet kecil di sebuah galaksi bernama pasar malam. Dan didalamnya orang dewasa pun bisa berubah jadi anak kecil yang paling cengeng. Sebagian masuk ke rumah hantu yang mereka yakin preman-preman di kampung seberang jauh lebih menyeramkan dari hantu yang cekikikan di dalam. Sebagian lagi menyiksa leher mereka, melongok ke bawah menyaksikan motor yang berputar-putar di sebuah silinder besar bernama “tong setan”

Ia berada di urutan kelima. Dibelakangnya masih panjang lagi. Antrian itu berkelok-kelok bagai ular naga panjang bukan kepalang. Jantungnya berdegup kencang, mungkin sebentar lagi akan meledak memuntahkan api kecil berwarna-warni. Kegirangan.

Di depannya, carousel itu berputar penuh 360 derajat. Ia mengincar kuda sembrani berwarna perak, seperti biasanya. Antrian akan segera dibuka dan Ia akan berlari cepat sebelum yang lain menduduki tunggangannya.

”Cuma 3 putaran ya Mas?” Ia bertanya pada penjaga pintu antrian
”Bisa kok 6 putaran. Cuma antri dari belakang lagi” jawabnya datar.

Hap! Ia pun duduk di atas sadel. Tangannya berpegang erat pada sebatang besi di kepala kuda, kakinya mencengkram kencang pada benda yang sama di bawahnya. Terdengar suara mesin menderu. Berisik. Tapi tak mengusik senyum di wajahnya. Musik yang riang mulai bermain.

Kuda sembrani perak pun berlari. Dan semakin kencang berputar. Diantara angin yang menerpa wajahnya dan lampu warna-warni yang berkerlip, Ia berhasil mendapatkan wajah kekasihnya. Terbalut cita putih di seluruh tubuhnya. Senyumnya masih sama, seperti tahun lalu saat terjatuh dari carousel dan pergi selamanya. Pria itu pun turun, menyambut tangan kekasihnya. Dan mereka pun berkeliling di pasar malam sampai kelelahan.

LoliPop

Permen lolipop. Bukan permen karet. Atau coklat. Permen lolipop merah rasa strawberry. Bukan hanya karena dia sangat menyukai warna merah, tapi dia tak pernah benar-benar menyukai rasa lain. Hanya strawberry.

Lolipop adalah ciuman pertamanya. Tak ada yang lebih dahsyat daripada itu. Warnanya merah merekah, bentuknya bulat bundar lingkaran, rasanya manis. Saat bibir mereka bertemu, dunia bagai kereta kencang yang ditarik rem daruratnya. Berhenti tiba-tiba. Membeku.

Permen lolipop adalah kesenangan sesaat paling favorit. One hour standnya. Di kencan mereka yang singkat, dia selalu melumat habis rasanya tanpa sisa. Bergumul dengan harum tubuhnya, bergerak mengikuti sensasi, menggeliat.

Dan Waktu cuma jadi kambing congek, tanpa bergerak melihat Lolipop sekarang di renggut nyawa terakhirnya. Merah merekah kini pindah ke bibirnya. Manis masih terasa di lidahnya, tapi sebentar lagi akan hilang. Ia tahu itu.